Diberi Tanggung Jawab Itu Berat.

Waktu SMA, walau sudah banyak hal yang mulai dilakukan dengan mandiri, namun masih bisa kapan saja minta bantuan ke orang tua. Kalau ada apa apa, orang tua masih bisa turun tangan bahkan bertanggungjawab atas diri kita. Makanya raport SMA masih diberikan ke orang tua murid.

Tidak seperti Kuliah, selama kuliah orang tua tidak diwajibkan, bahkan tidak ada undangan untuk mengambil transkrip semester mahasiswa. Karena mahasiswa sudah dianggap lebih dewasa dari siswa SMA. Mahasiswa sudah dianggap dapat bertanggungjawab atas studinya. Selain itu, seorang mahasiswa kost, dia juga mulai diberi bertanggung jawab atas kehidupannya. Walau tiap bulan orangtua masih mengirim uang, namun harus mulai bisa mengatur sendiri kehidupannya. Tidak tinggal dengan orang tua berarti bebas melakukan apa saja, diberi kepercayaan berarti diberi tanggung jawab, tangguang jawab atas kehidupan pribadinya. Kalau ada masalah, harus mulai bisa menyelesaikannya sendiri.

Ketika sang mahasiswa sudah lulus dan bekerja di suatu instansi setidaknya ada dua tanggungjawab baru yang diemban. Pertama tanggung jawab sebagai sarjana, kedua tanggung jawab atas job description di instansi tempatnya bekerja. Memegang gelar sarjana membuat masyarakat sekitar berharap kita dapat melakukan lebih dari yang belum bergelar sarjana, dan ini tidak mudah, cukup berat. Bertanggung jawab atas job description di instansi kita bekerja berarti kita dituntut profesional, sudah mendapat gaji berarti kita harus disiplin, mengerjakan tugas dengan baik, menaati peraturan, karena apa yang kita kerjakan tidak lagi hanya berimbas pada diri kita, namun juga masyarakat yang labih luas, minimal instansi kita dan stakeholder-nya, dan sekali lagi, hal ini berat.

Semakin Tua Semakin Misterius.


Saya kira sudah banyak orang yang mengamati kaitan antara kesuksesan seseorang yang kasat mata dan kemampuan intelegensinya. Ya memang, sudah banyak orang yang mengamini bahwa kecerdasan emosional itu lebih penting untuk kehidupan di dunia nyata dibanding kecerdasan intelegensia. Tapi, kali ini saya tidak ingin membahas bagaimana proporsi kedua kecerdasan tersebut berkontribusi dalam kesuksesan hidup seseorang.

Saya mengamati, setelah lulus SD, banyak di antara siswa-siswinya yang memang terlihat unggul secara akademis bisa lanjut sekolah di SMP favorit. Begitu juga ketika lulus SMP, banyak di antara siswa-siswinya yang memang terlihat unggul secara akademis bisa lanjut sekolah di SMA favorit. Tapi, di sini mulai terlihat anomali. Ada beberapa siswa/i yang terlihat biasa-biasa saja secara akademis bisa diterima di SMA favorit. Padahal teman-teman SMP-nya yang terlihat lebih encer malah tidak diterima di SMA tersebut. Kemudian, anomali ini makin menggejala ketika siswa-siswi SMA ini lulus dan kuliah di perguruan tinggi. Siswa/i yang terlihat tidak menonjol kemampuan akademisnya malah diterima kuliah di perguruan tinggi favorit. Jurusan favorit pula. Gejala anomali ini makin kronis ketika mahasiswa/i ini lulus dari perkuliahannya. Beberapa mahasiswa/i yang dulu ketika kuliah terlihat tidak terlalu rajin belajar atau kemampuan akademisnya tidak menonjol malah lebih cepat diterima kerja di perusahaan favorit. Beberapa mahasiswa/i yang dulu sering kali nongkrong di lab; nilai A sering kali menghiasi kartu hasil studinya tiap semester; malah masih harus pontang panting ke sana kemari untuk ikut tes perusahaan ini-itu;  ikut job fair sana-sini. Bahkan anomali ini bisa sampai stadium akhir ketika sudah bicara tentang pasangan. Sudah berapa kali kita mendengar "Wah, suaminya kok biasa aja ya? Gak imbang tuh. Jadi teringat Beauty and The Beast, wkwkwk" atau "Hmm... beruntung ya dia dapat suami yang ganteng, soleh pula. Padahal dia sih biasa-biasa aja."?
Powered by Blogger.

Mutiara Hikmah

Yang Sedang Banyak Dibaca

Shout Box

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x

Sahabat Bloggerku

Komentar Komentar Terbaru

International opportunities

Eramuslim

Web hosting for webmasters